gravatar

Berselancar di Dunia Hati

Oleh ARDA DINATA
http://ardanews.blogspot.com


ADAKAH
yang lebih jujur dari kata hati, ketika ia menyadarkan kita tanpa butiran kata-kata. Adakah yang lebih tajam dari mata hati, saat ia menghentak kita dari beragam kesalahan dan kehilafan. Sungguh kondisi yang paling indah dari seluruh putaran kehidupan ini, tidak lain saat di mana kita mampu secara jujur dan tulus mendengar suara hati. Sehingga pantas Imam Turmudzi mengatakan, “Hidupnya hati karena iman dan kematiannya karena kekufuran. Sehatnya hati karena ketaatan dan sakitnya hati karena terus-menerus mengerjakan kemaksiatan. Kesadarannya hati karena dzikir dan tidurnya hati karena kelengahan.”

Hati sendiri pada dasarnya merupakan tunas dari kedamaian. Dr. Ahmad Faried, menggambarkan bahwa hubungan hati dengan organ-organ tubuh lainnya, laksana raja yang bertahta di atas singgasana yang dikelilingi para punggawanya. Seluruh anggota punggawa bergerak atas perintahnya. Dengan kata lain, bahwa hati itu adalah sebagai remote control sekaligus pemegang komando terdepan (utama). Karena semua anggota tubuh berada dibawah komando dan dominasinya. Di hati inilah anggota badan lainnya mengambil keteladanannya, dalam ketaatan atau penyimpangan.

Jadi, betapa pentingnya kedudukan hati ini dalam kehidupan manusia. Namun, pertanyaannya adalah apakah kita selama ini telah “berselancar” untuk betul-betul memahami dan memaknai keberadaan dunia hati ini?

Hati fisik dan hati ruhani
Bila kita “berselancar” di dunia hati, maka kita akan bersentuhan dengan sesuatu yang berada di setiap sisi-sisi hati manusia tersebut, mulai dari arti hati secara fisik sampai dengan bagian-bagian hati itu bila dilihat secara ruhani, termasuk di dalamnya adalah segala organ tubuh yang sering berhubungan dengan hati itu sendiri.

Berbicara hati (qalb, kalbu), tentu kita akan melihatnya dari dua sudut kaca mata yang berbeda, yaitu hati fisik dan hati ruhani. Secara fisik, hati ini bagi kebanyakan orang merupakan sepotong organ dalam tubuh manusia yang terletak di bagian kiri dada dan sebagai sumber (pusat) roh. Dalam satu keterangan disebutkan, kalau sepotong organ ‘daging’ itu berbentuk buah sanaubar (berarti buah cemara atau sejenis dengan itu, mirip dengan jantung manusia. Kata ini bila diindonesiakan menjadi ‘sanubari’ untuk menunjukkan perasaan hati yang mendalam. Sebetulnya, terjemahan yang lebih tepat bagi kata qalb ini dalam bahasa Indonesia adalah ‘jantung’). Dan secara teknis ilmu anatomi, hati ini diartikan sebagai suatu bagian isi perut yang merah kehitam-hitaman warnanya, terletak di sebelah kanan perut besar, gunanya untuk mengambil sari-sari makanan di dalam darah dan menghasilkan empedu.

Kalau dilihat secara ruhani, hati (qalb, kalbu) adalah hal-hal yang bersifat ruhani, rabbani non-inderawi yang tersimpan dalam nurani manusia. Demikianlah yang dikatakan dalam Alquran, yaitu tempat bersemayam iman, takwa, ihsan, dzikir, cinta, tentram dan lainnya. Selain itu, hati ini merupakan tempat bersemayam kekufuran, nifak, riya, dengki, iri, benci, cemas, dan lainnya.

Dalam bahasa lain, hati ini disebut sebagai sesuatu yang ada di dalam tubuh manusia yang dianggap sebagai tempat (pusat) segala perasaan batin dan tempat menyimpan pengertian-pengertian (perasaan-perasaan, dsb). Arti lainnya, hati merupakan pusat pemahaman/internalisasi. Pusat Intutional Intelectual (II). Pusat memori dari semua amal (baik-buruk). Indera perasaan (rasa halus), untuk pencerapan hal yang abstrak. Indera hati (mata dan telinga hati), untuk pencerapan alam gaib.

Terkait dengan hati ini, menurut Al-Ghazali, hati (qalb, kalbu) ini dapat dimaknai sebagai sebuah lathifah (sesuatu yang amat halus dan lembut, tidak kasat mata, tak berupa dan tak dapat diraba), yang bersifat Rabbani ruhani (sesuatu yang berkaitan dengan sifat ilahiah dan roh/ruh), meski ada juga kaitannya dengan ‘organ hati’. Lathifah tersebut sesungguhnya adalah jati diri manusia atau hakikatnya. Dia adalah bagian (komponen) utama manusia yang berpotensi mencerap (memiliki daya tanggap atau persepsi), yang mengetahui dan mengenal, yang ditunjukan kepadanya segala pembicaraan dan penilaian, dan yang dicekam dan dimintai pertanggungjawaban.

Bagian-bagian hati ruhani

Hati (qalb, kalbu) termasuk organ gaib yang merupakan ‘alat’ yang dipergunakan oleh jiwa manusia. Kita tahu struktur jiwa ini terdiri dari: Aku (nafs)---analog dengan simbol S. Freuid, das Ich (Ego)---, dan Diri (anfus)---analog dengan simbol S. Freuid, das Es (Id)---. Dan kalau kita lihat lebih jauh, ternyata Aku unsurnya “nafsu” (nafs) energinya “cahaya”, sifatnya “salah”, fungsinya sebagai inti kesatuan dan tulang punggung eksistensi manusia. Aku mempunyai kebebasan untuk memilih apakah “salah” atau “benar”, hal inilah yang membedakan manusia dari binatang dan makhluk Tuhan lainnya yaitu malaikat “benar” terus, setan “salah” terus.

Sifat nafsu adalah “salah”, kalau yang dipilih/dilaksanakan “nafsu sendiri (fitrah)”, disebut “niat dalam”, akan dibela oleh Diri oleh karena “nafsu” yang disayangi oleh Tuhannya dan akan selamat, kalau karena pengaruh setan disebut “niat luar”, pasti celaka apa pun alasannya.

Sementara itu, keberadaan Diri ini unsurnya “napsu(anfus)”, dzatnya “cahaya” (“Tenaga Dalam”), sifatnya “benar” oleh karena hakikatnya Malaikat yang ditanam-Nya sejak konsepsi. Fungsinya: menjaga, membela Aku, agar selamat, mengatur dan memperkuat kehidupan (fungsi vegetatif), agar Aku survive.

Berdasarkan hal itu, jadi dapat dikatakan bahwa kalbu ini terdiri dari organ/alat gaib dari Diri/Aku; pusat pemahaman/internalisasi; pusat intutional intelectual (II); pusat memori dari semua amal (baik-jelek); organ/alat dari setan untuk melakukan interferensi terhadap Aku; sebagai indera perasaan (rasa halus) untuk pencerapan hal yang abstrak; dan indera hati (mata dan telinga hati), untuk pencerapan alam gaib. Dalam bahasa lain, dr. Ukas Cukasah, SpA, berdasarkan hasil penelitiannya tentang hakekat manusia Indonesia seutuhnya, mengungkapkan bahwa, kalbu merupakan pusat penghayatan indera perasaan, pusat akal dengan indera mata dan telinga hati, dan pusat memori pengalaman tidak-enak yang direpresi oleh Aku, yang pada gilirannya akan menimbulkan stres psikologis. Sedangkan pengalaman enak akan disimpan di memori otak. Jadi, pada hakekatnya roh, rasa, Aku, Diri, adalah gaib dan kalbu adalah organ gaib.

Terkait dengan kalbu sebagai organ gaib, tentu ia memiliki hubungan yang tidak terpisahkan dengan keberadaan unsur roh, nafs, dan akal yang sama-sama berada dalam tubuh manusia. Berikut ini hubungan diantara unsur tersebut di dalam tubuh manusia.

1. Hubungan kalbu dengan roh.

Roh/ruh adalah sesuatu yang abstrak (tidak kasat mata), yang bersemayam dalam rongga “hati biologis”, dan ‘mengalir’ melalui urat-urat dan pembuluh-pembuluh, ke seluruh anggota tubuh. Adapun mengalirnya dalam tubuh dengan membawa limpahan cahaya-cahaya kehidupan, perasaan, penglihatan, pendegaran dan penciuman ke dalam semua anggota badan. Adalah ibarat melimpahnya cahaya dari pelita yang dikelilinginya ke seluruh penjuru rumah.

Keberadaan roh ini, terdiri dari roh hewani, roh nabati, dan roh suci. Pertama, roh hewani, keberadaannya telah ada sejak konsepsi manusia. Sifatnya “hidup”, unsurnya “cahaya”, dan fungsinya memberikan “kehidupan” tingkat sel dari organ sadar (motorik), sebagai alat Aku untuk pemenuhan kebutuhan jasmani, sehingga Aku puas, senang, dll. Utusannya adalah rasa kasar, terdiri dari rasa kasar dalam (propioseptif) yang menyertai panca indera sehingga Aku dapat komunikasi/pencerapan dengan alam nyata-ada, melalui metoda kuantitatif.

Kedua, roh nabati. Telah ada sejak konsepsi manusia. Sifatnya “hidup”, unsurnya “cahaya”, dan fungsinya memberi “kehidupan” tingkat sel dari organ dalaman untuk fungsi vegetatif yang diatur oleh Diri untuk kepentingan Aku, sehingga Aku survive.

Utusan roh nabati adalah rasa halus terdiri dari rasa viseral dan rasa dalam yang menyertai indera perasaan sehingga Aku dapat melakukan pemahaman/pencerapan hal-hal yang abstrak (yang bereksistensi di dunia nyata) melalui metoda naturalistik.

Ketiga, roh suci. Keberadaannya ada dihembuskan kurang lebih umur 12 minggu dalam kandungan. Sifatnya “hidup”, unsurnya “cahaya”, fungsinya menjadikan Aku “yang hidup” dan memberikan “kehidupan” tingkat organ, yang ditandai oleh mulai berfungsinya (berdenyut) jasad yang terletak di atrium kiri jantung memancarkan sinyal sehingga jantung mulai memompa darah mengangkut oksigen dan nutrien untuk kebutuhan organ-organ.

Roh suci ini mempunyai utusan rasa jati yang menyertai indera hati sehingga Aku dapat merasakan/melakukan komunikasi dan pencerapan alam gaib dengan metoda intuisi. Dan kalau terminal roh suci, jasad berdenyut terus, maka utusannya, rasa jati dengan terminalnya di pusat liver (hepar) akan “nyala” terus sepanjang hayat.

2. Hubungan kalbu dengan Nafs.

Kata nafs mengandung beberapa makna (jiwa, sukma, diri, nafsu, dan sebagainya). Pertama, yang dalam bahasa Indonesia sama dengan kata ‘nafsu’ yaitu mencakup fakultas emosi atau amarah (ghadhab) dan ambisi atau (syahwah) dalam diri manusia. Makna seperti inilah yang sering kali digunakan dikalangan para ahli tasawuf, karena mereka mengartikan kata nafs (nafsu) sebagai sesuatu yang mencakup sifat-sifat tercela pada diri manusia. Itulah sebabnya mereka menegaskan tentang keharusan melawan nafsu ataupun mengekangnya. Makna demikian, seperti diisyaratkan dalam sabda Nabi Saw., “Musuhmu yang terbesar adalah nafsumu yang berada dalam dirimu.” (HR. Al-Baihaqiy dari riwayat Ibnu Abbas).

Kedua, kata nafs adalah serupa maknanya dengan salah satu makna ‘hati’, yaitu sesuatu yang abstrak dan membentuk diri manusia secara hakiki. Walau demikian, nafs ini dilukiskan dengan berbagai macam sifat sesuai dengan berbagai keadaannya yang berbeda-beda. Jika ia dalam keadaan selalu tenang dan tentram (dalam menerima ketentuan-Nya) dan terhindar dari kegelisahan yang disebabkan oleh pelbagai macam godaan ambisi, maka ia disebut nafs muthmainnah (jiwa yang tenang dan tentram). Seperti dalam firman Allah SWT, ”Wahai nafs muthmainnah, kembalilah kepada Tuhanmu, dalam keadaan ridha dan diridhai sepenuhnya.” (QS. Al-Fajr: 27).

Sedangkan apabila ia gelisah karena berada dalam kondisi perlawanan terhadap godaan syahwat hawa nafsu, maka ia disebut nafs lawwamah (atau jiwa yang senantiasa mengecam). Karena ia selalu menyesali dirinya sendiri atas kelalaiannya dalam melakukan pengabdian kepada Tuhannya. “….dan Aku (Allah) bersumpah dengan nafs lawwamah (jiwa yang selalu mengecam) ….” (QS. Al-Qiyamah: 2).

Selanjutnya, jika nafs ini tidak berusaha menyesali dirinya, bahkan senantiasa tunduk patuh kepada dorongan hawa nafsu dan memperturuti bisikan setan, maka ia disebut nafs ammarah bis-su (nafsu yang menyuruh kepada kejahatan). Seperti dalam firman Allah SWT, menirukan ucapan Yusup as. ataupun isteri Al-Aziz, raja Mesir, “….dan aku tidak hendak membebaskan diriku (dari kesalahan) karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan.” (QS. Yusuf: 53).

3. Hubungan kalbu dengan ‘Aql (Akal).

Kata akal ini memiliki beberapa makna. Pertama, akal berarti pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu yang bertempat di hati. Kedua, akal berarti bagian (dari manusia) yang memiliki kemampuan untuk mencerap pengetahuan. Hal ini sama dengan hati dalam arti lathifah.

Arti lainnya, bahwa setiap diri orang itu ada ‘sesuatu’ (wadah) yang menampung pengetahuan. Selanjutnya, pengetahuan adalah sifat yang menetap dalam ‘wadah’ tersebut. Jadi, pengetahuan tidak indentik dengan ‘wadah’ yang menampungnya. Sehingga, adakalanya kata akal digunakan untuk menyebutkan tentang sifat yang melekat pada diri orang yang berpengetahuan, dan adakalanya juga untuk menyebutkan tentang wadah pengetahuan dalam diri orang itu. Dan inilah barangkalai yang dimaksud dalam sabda Nabi Saw., “Yang pertama kali diciptakan Allah adalah akal.” (HR. At-Thabrani).

Klasifikasi hati manusia

Akhirnya, melalui kegiatan berselancar singkat di dunia hati seperti di atas, maka kita sudah dapat menarik suatu kesimpulan bahwa sesungguhnya hati manusia itu memiliki komponen sifat hidup dan mati. Dalam tataran ini, hati manusia dapat diklasifikasikan menjadi tiga. Pertama, Qalbun Shahih (hati yang suci). Yaitu hati yang sehat dan bersih dari setiap nafsu yang menentang perintah dan larangan Allah, dan dari setiap penyimpangan yang menyalahi keutamaan-Nya.

Kedua, Qalbun Mayyit (hati yang mati). Yaitu hati yang tidak pernah mengenal Ilahnya; tidak menyembah-Nya, tidak mencintai atau ridha kepada-Nya. Akan tetapi, ia berdiri berdampingan dengan syahwatnya dan memperturutkan keinginannya, walaupun hal ini menjadikan Allah marah dan murka dibuatnya.

Ketiga, Qalbun Maridl. Yaitu hati yang sebenarnya memiliki kehidupan, namun di dalamnya tersimpan benih-benih penyakit. Tepatnya, kondisi hati ini kadang-kadang ia “berpenyakit” dan kadang pula hidup secara normal, bergantung ketahanan (kekebalan) hatinya. Wallahu a’lam. ***

Penulis Pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia.

DAPATKAN ARTIKEL LAINYA TENTANG:
Menjadi Penulis Sukses, Mendapatkan Harta Karun, Menulis Buku, bisnis internet. Klik di bawah ini:
http://www.penulissukses.com/?id=buku08

Dapatkan E-Book (berbahasa Indonesia) di bawah ini:
- Cara Mudah, Cepat dan Praktis Nampang di Internet / Dasar-Dasar HTML.
- Panduan Praktis Membangun Situs Dinamis dan Interaktif dengan PHP
- Cara Mengirim Puluhan, ratusan Bahkan Ribuan Email dalam Sekali Klik.
- Download GRATIS Ringkasan/Summary buku "KUNCI EMAS, Rahasia Sukses Membangun Kekayaan dan Kesejahteraan", Karya: L.Y. Wiranaga, Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama.
http://www.megabuku.com/?ref=1788

Arda Dinata, adalah praktisi kesehatan, pengusaha inspirasi, pembicara, trainer, dan motivator di Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia.
E-mail:
arda.dinata@gmail.com
Hp. 081.320.476048.
http://www.miqra.blogspot.com/

gravatar

Empat Sikap Pembangun Pribadi Pantang Menyerah

Oleh: ARDA DINATA
http://ardanews.blogspot.com

Alam dan isinya ini tercipta secara berpasang-pasangan, sehingga melahirkan hukum tarik menarik antara satu dengan yang lainnya. Artinya kondisi alam ini akan selalu dinamis sesuai dengan kehendak-Nya. Begitu juga halnya dengan kehidupan manusia, akan mengalami rotasi (perputaran) antara di bawah–di atas; sukses-tidak sukses; bahagia-susah, dll.

Pribadi pantang menyerah (tangguh) adalah tidak lain sebutan bagi pribadi yang tidak merasa lemah terhadap sesuatu yang terjadi dan menimpanya. Pribadinya menganggap sesuatu yang terjadi itu dari segi positifnya. Ia yakin betul bahwa sekenario Sang Pencipta itu tidak akan meleset sedikit pun.

Pribadi pantang menyerah dan tangguh ini, tidak lain adalah pribadi yang memiliki kemampuan untuk bersyukur apabila ia mendapat sesuatu yang berkaitan dengan kebahagiaan, kesuksesan, medapat rezeki, dll. Sebaliknya, jika ia mendapati sesuatu yang tidak diharapkannya, entah itu berupa kesedihan, kegagalan, mendapat bala bencana, dll., maka ia memiliki ketahanan untuk selalu bersabar. Dan pribadi seperti ini memposisikan setiap kejadian yang menimpanya adalah atas ijin dan kehendak-Nya. Ia berserah diri dan selalu berusaha untuk bangkit dengan cara mengambil pelajaran dari setiap kejadian tersebut.

Pribadi pantang menyerah ini bukan saja semata-mata dilihat secara fisik. Tetapi lebih-lebih dan yang lebih penting justru adanya sifat positif dalam jiwanya yang begitu tangguh dan kuat.

Seseorang menjadi kuat, pada dasarnya karena mentalnya kuat. Seseorang menjadi lemah, karena mentalnya lemah. Begitu juga, seseorang sukses, karena ia memiliki keinginan untuk sukses. Dan seseorang yang gagal, karena ia berbuat gagal. Dalam hal ini, ada keterangan yang menyebutkan bahwa: “Orang yang kuat lebih disukai dan lebih baik dari orang yang lemah.” Jadi, manusia tangguh dan kuat itu, sudah seharusnya menjadi cita-cita kita dalam rangka mengabdi kepada-Nya.

Dalam konteks ini, dapat disebutkan bahwa kesuksesan menurut pandangan secara religius itu memiliki dua syarat pokok. Yakni iman dan ilmu. Kedua hal ini, kalau kita kaji secara rinci, jelas-jelas memiliki pengaruh sangat besar dalam kehidupan manusia. Dengan kuatnya iman seseorang, maka ia akan sangat berpengaruh terhadap kualitas kehidupan manusia. Menurut M. Ridwan IR Lubis, ada tiga pengaruh iman tersebut, yaitu berupa: kekuatan berpikir (quwatul idraak), kekuatan fisik (quwatul jismi), dan kekuatan ruh (quwatur ruuh).

Sedangkan menurut M. Yunan Nasution, mengungkapkan bahwa pengaruh iman terhadap kehidupan manusia itu berupa: iman akan melenyapkan kepercayaan kepada kekuasaan benda; menanamkan semangat berani menghadapi maut; membentuk ketentraman jiwa; dan membentuk kehidupan yang baik.

Untuk mencapai dampak dari kekuatan iman itu, kuncinya terletak pada pribadi kita masing-masing. Dan kalau kita cermati, sebenarnya pembentukan sifat pribadi pantang menyerah dan tangguh ini adalah berawal dari sifat optimisme yang menyelimuti pola pikir orang tersebut.

Menyikapi keadaan seperti saat ini, kita seharusnya tidak menjadi pesimis dan berserah diri. Kita harus optimis dan selalu berusaha untuk mencapai yang terbaik dalam hidup ini. Sehingga untuk menjadikan pribadi pantang menyerah dan tangguh ini, maka dalam diri kita harus tertanam sikap optimis, berpikir positif, dan percaya diri.

Setiap manusia harus memiliki optimisme dalam menjalani kehidupan ini. Dengan sikap optimis, langkah kita akan tegar menghadapi setiap cobaan dan menatap masa depan penuh dengan keyakinan. Karena garis kehidupan setiap manusia sudah ditentukan-Nya. Tugas kita adalah hanya berusaha, berpikir dan berdoa. Atau dalam bahasa lainnya, kita harus luruskan niat dan sempurnakan ikhtiar.

Setelah kita mampu bersikap optimis, lalu pola pikir kita juga harus dibiasakan berpikir secara positif dan percaya diri. Berpikir positif kepada siapa? Pertama, berpikir positif kepada Sang Pencipta. Setiap kejadian, peristiwa dan fenomena kehidupan ini pasti ada sebab musababnya. Tugas kita, hanya berpikir dan membaca. Ada apa dibalik semua itu? Lalu, kita mengambil pelajaran dari setiap kejadian tersebut dan selanjutnya mengamalkan yang baiknya dalam perilaku keseharian.

Kedua, berpikir positif terhadap diri sendiri. Setiap manusia, dilahirkan sebagai pribadi yang unik. Karena bagaimanapun wajah dan sifat kita mirip dengan orang lain. Tapi, yang jelas ada saja perbedaan antara keduanya. Sifat dan pribadi unik itu, harus kita jaga. Itu adalah potensi positif, modal dasar untuk mencapai keleluasaan langkah kita dalam menjalani kehidupan ini. Bagaimana orang lain akan menjunjung kita, kalau diri kita sendiri meremehkan dan tidak ‘mengangkatnya’.

Selain itu, kita juga harus yakin bahwa kita dilahirkan ke dunia ini sebagai sang juara, the best. Fakta membuktikan, dari berjuta-juta sel sperma yang disemprotkan Bapak kita, tetapi ternyata yang mampu menembus dinding telur Ibu kita dan dibuahi, hanya satu. Itulah kita, ‘sang juara’. Hal ini, kalau kita sadari akan menjadi sebuah motivasi luar biasa dalam menjalani hidup ini.

Ketiga, berpikir positif pada orang lain. Orang lain itu, manusia biasa sama dengan kita. Dia mempunyai kesalahan dan kekhilafan. Yang tentu hati nuraninya tidak menghendakinya. Pandanglah, orang lain itu dari sisi positifnya saja dan menerima sisi negatifnya sebagai pelajaran bagi kita.

Belajarlah dari seekor burung Garuda. Ia mengajarkan anaknya untuk terbang dari tempat yang tinggi dan menjatuhkannya. Lalu jatuh, diangkat lagi dan seterusnya sampai ia bisa terbang sendiri. Hati Garuda juga bersih, tidak mendendam. Ia kalau waktunya bermain ‘cakar-cakaran’. Tapi, kalau diluar itu ia akur, damai kembali.

Keempat, berpikir positif pada waktu. Setiap manusia diberi waktu yang sama, dimana pun dia berada. Sebanyak 24 jam sehari atau 86.400 detik sehari. Waktu itu, ingin kita apakan? Kita gunakan untuk tidur seharian, kerja keras, mengeluh, berdemontrasi, bergunjing, santai, menuntut ilmu, menolong orang lain, melamun, ibadah, dan lainnya. Waktu itu tidak akan protes. Yang jelas, setiap detik hidup kita akan diminta pertanggung jawabannya kelak. Bagi mereka yang biasa mengisi waktunya dengan amal-amalan saleh/ kebaikan dan berada dalam keimanan, maka ia akan memperoleh kehidupan yang lebih baik.

Akhirnya, untuk memaksimalkan potensi yang ada pada diri seseorang, lebih-lebih sebagai pembentuk pribadi yang pantang menyerah, tangguh, ‘tahan banting’, sabar dan istiqomah pada jalan-Nya. Tentu kuncinya adalah diri kita perlu dibangun dengan kebiasaan positif. Semoga tulisan ini menjadi bahan penilaian terhadap diri kita sendiri, terutama kaitannya dengan keinginan pembentukan pribadi yang pantang menyerah. Dan kita berdoa, agar Sang Penguasa diri ini memberi kemampuan kepada kita untuk membangun pribadi yang tangguh dan pantang menyerah. Amin. Wallahu’alam***

Penulis Pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia.

DAPATKAN ARTIKEL LAINYA TENTANG:
Menjadi Penulis Sukses, Mendapatkan Harta Karun, Menulis Buku, bisnis internet. Klik di bawah ini:
http://www.penulissukses.com?id=buku08

Dapatkan E-Book (berbahasa Indonesia) di bawah ini:
- Cara Mudah, Cepat dan Praktis Nampang di Internet / Dasar-Dasar HTML.
- Panduan Praktis Membangun Situs Dinamis dan Interaktif dengan PHP
- Cara Mengirim Puluhan, ratusan Bahkan Ribuan Email dalam Sekali Klik.
- Download GRATIS Ringkasan/Summary buku "KUNCI EMAS, Rahasia Sukses Membangun Kekayaan dan Kesejahteraan", Karya: L.Y. Wiranaga, Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama.



Arda Dinata, adalah praktisi kesehatan, pengusaha inspirasi, pembicara, trainer, dan motivator di Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia.
E-mail:
arda.dinata@gmail.com
Hp. 081.320.476048.
http://www.miqra.blogspot.com

gravatar

Membangun Pribadi Pantang Menyerah

Oleh: Arda Dinata
http://ardanews.blogspot.com


“Barang siapa mengerjakan amal saleh, baik laki-laki ataupun perempuan dalam keadaan beriman, niscaya Kami hidupkan dia dengan kehidupan yang baik dan Kami balasi mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 97).


Allah telah menciptakan alam dan isinya berpasang-pasangan, sehingga melahirkan hukum tarik menarik antara satu dengan yang lainnya. Artinya kondisi alam ini akan selalu dinamis sesuai dengan kehendak-Nya. Begitu juga halnya dengan kehidupan manusia, akan mengalami rotasi (perputaran) antara di bawah–di atas; sukses-tidak sukses; bahagia-susah, dll. Begitu juga dengan iman kita. Iman bisa datang dan pergi, naik dan turun.

Ibnu Mas’ud mengatakan, “Sesungguhnya jiwa manusia itu mempunyai saat dimana ia ingin beribadah dan ada saat dimana enggan beribadah.” Diantara dua keadaan itulah manusia menjalani kehidupan ini. Dan diantara dua keadaan itu pula nasib manusia ditentukan.

Dalam arti lain, semakin seseorang berada dalam iman yang rendah, maka besar kemungkinan dalam kondisi ini akan mengakhiri hidupnya. Demikian sebaliknya, jika seseorang semakin sering berada pada kondisi iman yang tinggi, maka semakin besar peluangnya memperoleh akhir kehidupan yang baik. Pertanyaannya, bagaimana cara mewujudkan kondisi pribadi yang berujung kebaikan, pribadi yang pantang menyerah tersebut?

Pribadi pantang menyerah (tangguh) adalah tidak lain sebutan bagi pribadi yang tidak merasa lemah terhadap sesuatu yang terjadi dan menimpanya. Pribadinya menganggap sesuatu yang terjadi itu dari segi positifnya. Ia yakin betul bahwa sekenario Allah itu tidak akan meleset sedikit pun.

Pribadi pantang menyerah dan tangguh ini, tidak lain adalah pribadi yang memiliki kemampuan untuk bersyukur apabila ia mendapat sesuatu yang berkaitan dengan kebahagiaan, kesuksesan, medapat rezeki, dll. Sebaliknya, jika ia mendapati sesuatu yang tidak diharapkannya, entah itu berupa kesedihan, kegagalan, mendapat bala bencana, dll., maka ia memiliki ketahanan untuk selalu bersabar. Dan pribadi seperti ini memposisikan setiap kejadian yang menimpanya adalah atas ijin dan kehendak Allah. Ia pasrah dan selalu berusaha untuk bangkit dengan cara mengambil pelajaran dari setiap kejadian tersebut.

Pribadi pantang menyerah ini bukan saja semata-mata dilihat secara fisik. Tetapi lebih-lebih dan yang lebih penting justru adanya sifat positif dalam jiwanya yang begitu tangguh dan kuat.

Seseorang menjadi kuat, pada dasarnya karena mentalnya kuat. Seseorang menjadi lemah, karena mentalnya lemah. Begitu juga, seseorang sukses, karena ia memiliki keinginan untuk sukses. Dan seseorang gagal, karena ia berbuat gagal. Dalam hal ini, ada hadist Nabi yang menyebutkan bahwa: “Orang mukmin yang kuat lebih disukai dan lebih baik dari mukmin yang lemah.” Jadi, manusia tangguh dam kuat itu, sudah seharusnya menjadi cita-cita kita dalam rangka mengabdi kepada Allah.

Dalam konteks ini, dapat disebutkan bahwa kesuksesan menurut pandangan Alquran itu memiliki dua syarat pokok. Yakni iman dan ilmu (QS. 58: 11). Kedua hal ini, kalau kita kaji secara rinci, jelas-jelas memiliki pengaruh sangat besar dalam kehidupan manusia.

Dengan kuatnya iman seseorang, maka ia akan sangat berpengaruh terhadap kualitas kehidupan manusia. Menurut M. Ridwan IR Lubis (1985), ada tiga pengaruh iman tersebut, yaitu berupa: kekuatan berpikir (quwatul idraak), kekuatan fisik (quwatul jismi), dan kekuatan ruh (quwatur ruuh).

Sedangkan menurut M. Yunan Nasution (1976), mengungkapkan pengaruh iman terhadap kehidupan manusia itu berupa: iman akan melenyapkan kepercayaan kepada kekuasaan benda; menanamkan semangat berani menghadapi maut; membentuk ketentraman jiwa; dan membentuk kehidupan yang baik.

Untuk mencapai dampak dari kekuatan iman itu, kuncinya terletak pada pribadi kita masing-masing. Dan kalau kita cermati, sebenarnya pembentukan sifat pribadi pantang menyerah dan tangguh ini adalah berawal dari sifat optimisme yang menyelimuti pola pikir orang tersebut.

Menyikapi keadaan seperti saat ini, kita seharusnya tidak menjadi pesimis dan berserah diri. Kita harus optimis dan selalu berusaha untuk mencapai yang terbaik dalam hidup ini. Sehingga untuk menjadikan pribadi pantang menyerah dan tangguh ini, maka dalam diri kita harus tertanam sikap optimis, berpikir positif, dan percaya diri.

Setiap manusia harus memiliki optimisme dalam menjalani kehidupan ini. Dengan sikap optimis, langkah kita akan tegar menghadapi setiap cobaan dan menatap masa depan penuh dengan keyakinan terhadap Sang Pencipta. Karena garis kehidupan setiap manusia sudah ditentukan-Nya. Tugas kita adalah hanya berusaha, berpikir dan berdoa agar sesuai dengan ridho-Nya.

Setelah kita mampu bersikap optimis, lalu pola pikir kita juga harus dibiasakan berpikir secara positif dan percaya diri. Berpikir positif kepada siapa? Pertama, berpikir positif kepada Allah. Setiap kejadian, peristiwa dan fenomena kehidupan ini pasti ada sebab musababnya. Tugas kita, hanya berpikir dan membaca. Ada apa dibalik semua itu? Lalu, kita mengambil pelajaran dari kejadian itu dan selanjutnya mengamalkan yang baiknya dalam perilaku keseharian.

Kedua, berpikir positif terhadap diri sendiri. Setiap manusia, dilahirkan sebagai pribadi yang unik. Karena bagaimanapun wajah dan sifat kita mirip dengan orang lain. Tapi, yang jelas ada saja perbedaan antara keduanya.

Sifat dan pribadi unik itu, harus kita jaga. Itu adalah potensi positif, modal dasar untuk mencapai keleluasaan langkah kita menuju ridho-Nya. Bagaimana orang lain akan menjunjung kita, kalau diri kita sendiri meremehkan dan tidak ‘mengangkatnya’.

Selain itu, kita juga harus yakin bahwa kita dilahirkan ke dunia ini sebagai sang juara, the best. Fakta membuktikan, dari berjuta-juta sel sperma yang disemprotkan Bapak kita, tetapi ternyata yang mampu menembus dinding telur Ibu kita dan dibuahi, hanya satu. Itulah kita, ‘sang juara’. Hal ini, kalau kita sadari akan menjadi sebuah motivasi luar biasa dalam menjalani hidup ini.

Ketiga, berpikir positif pada orang lain. Orang lain itu, manusia biasa sama dengan kita. Dia mempunyai kesalahan dan kekhilafan. Yang tentu hati nuraninya tidak menghendakinya. Pandanglah, orang lain itu dari sisi positifnya saja dan menerima sisi negatifnya sebagai pelajaran bagi kita.

Belajarlah dari seekor burung Garuda. Ia mengajarkan anaknya untuk terbang dari tempat yang tinggi dan menjatuhkannya. Lalu jatuh, diangkat lagi dan seterusnya sampai ia bisa terbang sendiri. Hati Garuda juga bersih, tidak mendendam. Ia kalau waktunya bermain ‘cakar-cakaran’. Tapi, kalau diluar itu ia akur, damai kembali.

Keempat, berpikir positif pada waktu. Setiap manusia diberi waktu yang sama, dimana pun dia berada. Sebanyak 24 jam sehari atau 86.400 detik sehari. Waktu itu, ingin kita apakan? Kita gunakan untuk tidur seharian, kerja keras, mengeluh, berdemontrasi, bergunjing, santai, menuntut ilmu, menolong orang lain, melamun, ibadah, dan lainnya. Waktu itu tidak akan protes.

Yang jelas, setiap detik hidup kita akan diminta pertanggung jawabannya kelak, di hadapan Allah SWT. Bagi mereka yang biasa mengisi waktunya dengan amal-amalan saleh dan berada dalam keimanan, maka ia akan memperoleh kehidupan yang lebih baik. Allah berfirman, yang artinya: “Barang siapa mengerjakan amal saleh, baik laki-laki ataupun perempuan dalam keadaan beriman, niscaya Kami hidupkan dia dengan kehidupan yang baik dan Kami balasi mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 97).

Untuk memaksimalkan sikap positif pada diri seseorang, lebih-lebih sebagai pembentuk pribadi yang pantang menyerah, tangguh, ‘tahan banting’, sabar dan istiqomah pada jalan-Nya. Tentu perlu dibagun pula dengan kebiasaan positif.

Semoga tulisan ini menjadi bahan penilaian terhadap diri kita sendiri, terutama kaitannya dengan keinginan pembentukan pribadi yang pantang menyerah. Dan kita berdoa, semoga Allah memberi kemampuan terhadap kita untuk membangun pribadi yang tangguh dan pantang menyerah sesuai tuntutan-Nya. Amin. Wallahu a’lam. ***

Penulis Pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia.

gravatar

Berpikir dan Bekerja Secara Produktif

Oleh: Arda Dinata
http://ardanews.blogspot.com

“Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah orang-orang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti apa pun.”
(QS. Al-Anfal: 22)


BERPIKIR dan bekerja merupakan kata yang patut kita sandingkan dalam membangun produktifitas kehidupan seorang muslim. Kerjasama kedua makna kata ini, bila kita laksanakan dengan benar akan melahirkan suatu kekuatan yang luar biasa. Bagi manusia yang mampu memaksimalkan kedua potensi ini, tentu predikat manusia produktif akan segera disandangnya.

Dalam al-Quran, banyak ayat yang memberi kita tuntunan agar bekerja secara produktif. Salah satunya, Allah menyatakan dalam QS. Yasin: 33-35, “Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah bumi yang mati. Kami hidupkan bumi itu dan Kami keluarkan daripadanya biji-bijian, maka daripadanya mereka makan. Dan Kami jadikan padanya kebun-kebun kurma dan anggur. Dan Kami pancarkan padanya beberapa mata air, supaya mereka dapat makan dari buahnya, dan dari apa yang diusahakan oleh tangan mereka. Maka mengapakah mereka tidak bersyukur?”

Makna dari ayat tersebut mengajarkan dan menuntut setiap manusia agar bersyukur kepada Allah SWT. dengan cara beriman atas nikmat yang telah dianugerahkan-Nya. Nikmat itu, antara lain berupa Allah telah memberi kesempatan kepada manusia untuk bekerja secara produktif dan sukses dalam hidupnya. Posisi kesempatan yang diberikan Allah ini bergantung pada pekerjaan yang dilakukan oleh manusia sendiri. Selain itu, kita harus menyandarkan diri terhadap segala yang telah diushakan tersebut kepada kehendak-Nya.

Dalam hal ini, untuk menciptakan kehidupan yang positif dan produktif, Muhammad al-Bahi mengungkapkan ada tiga unsur penting yang harus diperhatikan. Pertama, mendayagunakan potensi yang telah dianugerahkan Allah untuk bekerja, melaksanakan gagasan, dan memproduksi. Kedua, bertawakal kepada Allah, berlindung, dan meminta pertolongan kepada-Nya pada waktu melakukan pekerjaan. Ketiga, percaya kepada Allah bahwa Ia mampu menolak bahaya, kesombongan, dan kediktatoran yang memasuki lapangan pekerjaan.

Nikmat lain yang patut disyukuri manusia ialah berupa kehendak Allah menyediakan lingkungan agar manusia dapat hidup di dalamnya. Pada ayat: “Dan dari apa yang diusahakan oleh tangan mereka…” tersebut, telah mengajarkan bahwa menjadikan pekerjaan tangan sebagai pilar utama produksi (pertanian), bukan berarti seorang mukmin dibenarkan berlindung pada sikap fatalistik. Yakni sikap menunggu dan mengharapkan datangnya rezeki tanpa bekerja.

Memang Islam mengajak manusia untuk bertawakal kepada Allah, tetapi ia tidak mengakui sikap fatalistik itu. Apalagi untuk mendorongnya. Bertawakal kepada Allah, berarti mendayagunakan seluruh potensi untuk memikirkan cara-cara yang benar dan tepat dalam melakukan pekerjaan. Proses kerja ini dimulai dengan bertawakal dan bersandar kepada-Nya yang dipadukan dengan tujuan, perencanaan, program, dan pelaksanaan kerja.

* *

DALAM bekerja, kita dianjurkan untuk mengembangkan “sayap kerjasama” dengan setiap makhluk Allah, termasuk dengan alam sekalipun. Kerjasama dan solidaritas adalah naluri dasar yang selalu dimiliki makhluk Allah. Oleh karena itu, tidak ada makhluk satu pun yang dapat hidup menyendiri, sekalipun dalam koloninya sendiri.

Dalam kehidupan alam semesta, kita diajarkan agar melakukan kerjasama yang solid. Kehidupan semut, misalnya, selalu kerjasama dengan baik dalam menjalani hidup dan menghadapi bahaya. Bahkan setiap semut merupakan bagian dari suatu proses pemecahan masalah di antara mereka sendiri.

Waktu mencari makan, semut secara bersama-sama menyapu setiap makanan yang mereka temukan. Semua bisa berjalan dengan kecepatan sampai 20 km/jam dan dapat membunuh mangsanya sampai 20 ribu kali setiap hari. Ketika mereka kembali ke sarang, setiap semut pasti mengusung makanan untuk temannya (baca: semut perawat), yang bertugas khusus merawat jentik-jentik telur semut di sarangnya.

Semut merah, bahkan tak hanya bekerjasama dengan koloninya. Mereka selalu kerjasama dengan ulat bulu. Menurut Profesor Edward Wilson, semut-semut merah itu memanfaatkan liur ulat untuk lem bagi sarangnya. Selain itu, si ulat bulu juga mengeluarkan suara seperti musik yang sangat disukai para semut merah. Sebagai balasannya, semut merah akan memberi makan dengan jentik-jentik telurnya setiap hari, hingga ulat keluar dan tumbuh menjadi kepompong. Sungguh hal ini merupakan bukti kalau alam itu mengajarkan kepada kita tentang sebuah kerjasama yang sangat solid.

Jadi, masihkah kita akan menebar rasa permusuhan, saling curiga, dan perpecahan sesama anak bangsa dalam membangun sebuah tatanan produktifitas bangsa yang sedang tepuruk saat ini?

* *

MELALUI akal, manusia dapat berpikir. Dengan pikirnya itulah, seharusnya manusia mampu menciptakan semangat kerja. Sehingga tak berlebihan bila Muhammad Utsman Najati mengungkapkan, pekerjaan manusia meliputi aspek rasio dan fisik. Jika manusia tidak bekerja maka berarti ia hidup tanpa memenuhi tugasnya.

Keberadaan rasio itu sendiri, sudah seharusnya dimaksimalkan untuk berpikir. Melalui pemikiran itu, manusia akan membuat garis lurus dalam kehidupan yang berfungsi sebagai benteng terhadap godaan hawa nafsu. Abdul Hamid Mursi menyebutkan, hawa nafsu tidak dapat mengalahkan pikiran kecuali jika manusianya banyak bersantai. Bekerja merupakan tugas dalam hidup manusia, karenanya manusia tidak boleh melakukannya dengan terpaksa. Lagian, bukankah manusia akan merasakan kenikmatan bila mengerjakannya dengan penuh kesadaran?

Akhirnya, masihkah kita akan mengabaikan potensi pikir, kerja, dan produktifitas dalam hidup, yang telah Allah anugerahkan kepada setiap diri manusia ini? Yang pasti, Allah akan menjujung tinggi manusia yang berpikir dan merendahkan orang yang tidak menggunakan pikirnya pada tingkatan di bawah hewan. Allah berfirman, “Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah orang-orang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti apa pun.” (QS. Al-Anfal: 22). Wallahu’alam.***

Penulis Pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia.

gravatar

Silaturahim, Persahabatan Hakiki dan Terbukanya Rahmat

Oleh: Arda Dinata

RASULULLAH s.a.w. bersabda, “Orang yang bersilaturahim itu bukanlah orang yang membalas kunjungan atau pemberian, akan tetapi yang dimaksud dengan orang bersilaturahim adalah orang yang menyambung orang yang memutuskan hubungan denganmu.”

Silaturahim meupakan kata majemuk, terdiri dari kata shilat yang berarti menyambung yang putus. Sedangkan rahim berasal dari kata rahmah yang berarti kasih sayang. Berkait dengan ini, kita tahu bahwa di antara sifat-sifat orang mukmin adalah berhati hidup, tanggap, lembut dan penuh kasih sayang. Dengan hati inilah ia berkomunikasi dengan orang lain, masyarakat, dan lingkungannya. Ia akan ternyuh melihat yang lemah, pedih melihat orang yang sedih, dan santun kepada yang miskin serta mengulurkan bantuan kepada yang membutuhkan.

Adanya kondisi seperti itu, tentu akan berdampak pada terhindarnya dari usaha untuk menyakiti orang lain. Apalagi melakukan kejahatan. Sebaliknya ia tentu akan menjadi sumber inspirasi dan keteladanan bagi kebaikan, keberuntungan dan kedamaian orang lain, masyarakat serta lingkungannya.

Sementara itu, dalam kamus umum bahasa Indonesia, silaturahim diartikan sebagai persaudaraan, persahabatan. Dari sini, kita bisa kembangkan menjadi berkunjung, mendatangi, mengeratkan tali kasih (termasuk berdoa), bahkan bisa diperluas lagi menjadi saling berkomunikasi (tukar pikiran), curhat, dan saling memaafkan.

Pada konteks budaya Indonesia, kegiatan silaturahim ini akan terasa sekali pada awal-awal bulan Syawal atau saat Idul Fitri, bila kita bandingkan dengan bulan-bulan lainnya. Padahal, seharusnya pemahaman silaturahim dan perilaku tersebut tidak terbatas pada perbedaan bulan dan situasional. Tapi, setiap saat kita harus berusaha membangun dan melakukannya, karena aktivitas ini akan mendatangkan rahmat Allah yang tidak terkira.

Keterangan berikut ini, setidaknya dapat menyakinkan kita tentang hal itu. “Maukah kalian aku tunjukkan amal yang lebih besar pahalanya daripada salat dan saum?” tanya Rasulullah s.a.w. kepada sahabat-sahabatnya.

Rasulullah kemudian menjelaskan, “Engkau damaikan yang bertengkar, menyambung persaudaraan yang terputus, mempertemukan kembali saudara-saudara yang terpisah, menjembatani berbagai kelompok dalam Islam, dan mengukuhkan ukhuwah di antara mereka adalah amal salah yang besar pahalanya. Barangsiapa yang ingin dipanjangkan usianya dan dibanyakkan rizkinya, hendaklah ia menyambung persaudaraan.” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Dalam konteks ini, bila kita menyikapi dan merenungi hadis tersebut, maka jelas Islam telah lebih dulu memberikan kunci bagi mereka yang ingin dipanjangkan usianya dan dibanyakan rizkinya. Yakni dengan cara menyambung persaudaraan (baca: menjalin persahabatan hakiki). Lalu, bagaimana aplikasinya?

Ilmu Barat mengatakan, “Inti dari hidup adalah bergerak.” Dengan demikian, siapa pun orangnya yang sering melakukan gerak, maka ia hidup. Sebab dengan melakukan gerak, tentu organ tubuh juga ikut bergerak. Dampaknya membuat jantung akan memompakan darah ke seluruh tubuh kita.

Kaitannya dengan silaturahim, maka orang yang sering melakukan aktivitas tersebut terhadap Sang Pencipta, manusia lain, dan lingkungannya, maka ia akan melakukan gerak pada organ tubuhnya (baik fisik maupun psikisnya). Otomatis organ tubuhnya menjadi hidup, yang pada akhirnya berkolerasi positif terhadap “dipanjangkan” usianya. Artinya bukan jatah hidupnya yang telah ditentukan-Nya menjadi bertambah, tetapi nama kita (dikemudian hari) walau telah meninggal dunia akan terus dikenang oleh orang lain karena kebaikan-kebaikan yang telah kita kerjakan.

Aktivitas silaturahim ini, selanjutnya juga akan mendatangkan rizki yang tidak disangka-sangka kepada siapa pun yang melakukannya. Rizki yang bagaimana? Itu adalah hak perogratif Allah. Yang jelas dalam silaturahim itu akan terjadi dialog, pembicaraan tentang sesuatu hal. Di sini, tentunya akan terjadi transfer ilmu pengetahuan. Bukankah ini merupakan suatu rizki? Lalu, kita juga kadangkala dalam silaturahim itu ada jamuan. Sehingga dari pertemuan santai model ini juga biasanya ada yang berlanjut pada kesepakatan kerjasama untuk berusaha dan bisnis. Bukankah hal ini suatu rizki? Dan masih banyak lagi yang lainnya. Yang pasti, niatkan hati kita dengan iklas mengharap ridha-Nya. Karena Allah Maha Tahu apa kebutuhan kita dan Allah Maha Kaya lagi tahu segala-galanya.

Lebih dari itu, aktivitas silaturahim ini tentu akan mengokohkan jalinan persahabatan hakiki bagi setiap orang yang mampu membangunnya. Dan kondisi bangsa saat ini, kelihatannya sangat membutuhkan sosok anak bangsa yang mampu menjalin ikatan persahabatan hakiki di antara penghuni negeri ini.

Persahabatan hakiki

Persahabatan hakiki merupakan kata-kata indah untuk didengarkan dan tentunya setiap orang mendambakan realitas hal tersebut. Persahabatan itu sendiri berarti perhubungan selaku sahabat. Sahabat adalah teman disegala suasana. Asik diajak berdiskusi, juga penuh kesabaran mendengarkan keluh kesah. Apalagi saat senang, memang enak dijalani bersama. Begitu pun saat susah, terasa ringan dengan berbagi cerita terhadap sahabat.

Menjalin ikatan persahabatan merupakan aktivitas yang suci (fithriyyah) bagi kita, karena manusia memang ditakdirkan Allah menghuni bumi ini sebagai makhluk sosial. Dari aktivitas tersebut, kita bisa belajar banyak mengenai kehidupan lebih banyak lagi. Lewatnya, kita bisa bercermin. Melalui cermin persahabatan ini, kita bisa melihat perbedaan-perbedaan sifat, karakter manusia dan pola kehidupannya. Dan dari sini pula diharapkan kedewasaan serta kesabaran kita menjadi tertanam secara kokoh.

Untuk mencapai makom persahabatan hakiki tersebut, Islam jauh-jauh hari telah memberi petunjuk untuk mencapainya. Yakni melalui persahabatan yang dibalut dengan Sibghah Allah. Tepatnya, bersahabat dalam pancaran nur Islam, yaitu bukan hanya berupa jalinan dua orang insan yang seiman dan seakidah (baca: ibarat satu tubuh). Tapi, juga otomatis dan tidak bisa tidak, meminjam bahasa Aa Gym adalah mesti ada “pihak ketiga” yang ikut mengikatkan diri serta kian memperteguh ikatan di antara keduanya. Yaitu Allah zat yang maha memiliki rasa kasih dan sayang. Singkatnya, persahabatan dalam Islam memang akan selalu melibatkan keberadaan Allah di tengah-tengah kita.

Sesungguhnya persahabatan hakiki itu merupakan buah dari kebajikan akhlak, sedangkan perselisihan tidak lain merupakan hasil dari kebejatan akhlak. Maka akhlak yang bagus akan membuahkan rasa saling cinta, saling bersatu, dan saling memberi manfaat. Sedangkan akhlak yang buruk akan menghasilkan rasa saling membenci, saling mendengki, dan saling mencelakakan.

Akhirnya, apa yang telah dipaparkan di atas, tidak lain adalah sesuatu yang mesti kita bina dengan jalinan persahabatan karena Allah. Yang untuk kondisi saat ini merupakan sesuatu yang terlihat renggang ---kalau tidak mau disebut rapuh---. Jadi, kunci bagi dipanjangkannya usia dan terbukanya rahmat serta pertolongan Allah untuk keluar dari jeratan krisis yang melilit bangsa ini, tidak lain adalah membangun ukhuwah islamiyah dan persahabatan hakiki di antara penghuni negeri ini. Karena bagaimana pun besarnya umat Islam di Indonesia, sama sekali tidak ada artinya, benar-benar laksana buih di lautan yang dengan mudah terombang-ambing gelombang, bila kita tidak mau berpegang teguh pada tali Allah dan menegakkan persatuan umat. Wallahu’alam.***

Penulis Pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia.

gravatar

Pastikan Kita Masuk “Surga”!

Oleh: Arda Dinata

DARI Abu Hurairah r.a. bahwasannya Rasulullah bersabda kepada umat yang sedang mengelilinginya, “Pastikanlah kamu melaksanakan enam hal, aku pastikan kamu masuk surga!” Abu Hurairah bertanya kepada Nabi, "Apa-apa saja (yang enam tersebut), wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Shalat, zakat, amanah, kehormatan, perut, lidah.” (HR. Ath-Thabrani).

Hadis tersebut sangat inspiratif dalam mengarahkan manusia dalam mencapai kehidupan yang surgawi. Artinya kata “jannah” –surga-- tidaklah terbatas pada makna konotasi surga di akhirat saja. Tapi, ia lebih merupakan simbol dari segala kenikmatan, baik di dunia maupun akhirat.

Hal senada diakui Dr. H. Muslim Nasution, pencapaian surga itu tidaklah terbatas pada pencapaian surga dalam arti di akhirat saja, tetapi juga pencapaian surga dalam arti dimensi duniawi. Yakni kebahagiaan dunia, ketenangan, kedamaian, kesuksesan dan lainnya. Sehingga bila surga di akhirat bisa diperoleh, mengapa surga di dunia tak bisa diperoleh?

Setiap orang pasti ingin bahagia. Namun, adakalanya orang berjalan hanya mengikuti nafsunya semata-mata tanpa memperdulikan aturan-aturan yang telah ditetapkan-Nya. Dan kebahagiaan itu, janganlah diposisikan dalam kaca mata manusia. Sebab, kebahagiaan yang hakiki hanyalah milik Allah SWT., sehingga kebahagiaan inilah yang harus umat Islam gapai.

Adapun langkah pertama yang perlu dilakukan untuk masuk surga (baca: menuju bahagia) ialah melaksanakan shalat. Makna shalat ini bila kita pahami dengan baik, sungguh amat dalam nilai yang dikandungnya. Shalat, selain berdimensi ibadah ritual dengan nilai pahala kemuliaan, juga berdimensi sosial-kemanusiaan. Dalam konteks hidup manusia, shalat juga dapat menghindarkan seseorang dari perbuatan-perbuatan negatif. Sehingga, pantas saja ketika seseorang meninggal dunia, pemeriksaan amal perbuatan yang pertama dinilai adalah amalan shalatnya.

“Sesungguhnya, pekerjaan seorang hamba Allah, yang paling pertama diperiksa pada hari kiamat adalah shalatnya. Jika shalatnya baik, bahagia dan sukseslah dia. Apabila shalatnya rusak, hancur dan rugilah dia …” (HR. At-Tirmidzi).

Langkah lain menuju kebahagiaan ialah membayar zakat dan melaksanakan amanah/amanat. Membayar zakat (zakat mal dan fitrah) merupakan rukun Islam yang harus dilaksanakan bila telah mencukupi syarat-syaratnya. Pelaksanaan zakat, menurut Muslim Nasution, berarti memberi sejumlah harta atau benda kepada orang-orang tertentu yang pada umumnya dikategorikan orang-orang yang memerlukan bantuan finansial dan materi.

Dalam ajaran Islam, harta yang kita miliki bukanlah milik kita secara hakiki. Namun, harta itu merupakan amanat dari Allah SWT. Lebih dari itu, di dalam harta yang dimiliki seorang muslim terdapat sejumlah hak orang lain. Hak itulah yang kemudian direalisasikan dalam bentuk zakat, infak dan sedekah.

Sementara itu, amanat diartikan tidak sekedar memelihara atau menjaga sesuatu yang dititipkan. Tapi, dalam pandangan Al-Ghazali, amanat mempunyai makna yang luas. Bisa berupa perhatian seseorang terhadap tanggung jawab yang dipikulnya. Baik dalam bentuk pekerjaan, jabatan, dan harta benda yang disyariatkan Allah SWT. dalam Alquran maupun hadis.

Sehingga dapat dikatakan, bila seseorang melaksanakan amanat berarti melaksanakan berbagai ketentuan Allah yang telah diamanatkan. Dalam hal ini, Rasulullah Saw. menjelaskan, “Kamu sekalian adalah pemimpin dan bertanggung jawab terhadap kepemimpinannya. Kepala negara adalah pemimpin dan bertanggung jawab terhadap kepemimpinannya. Seorang suami adalah pemimpin di keluarganya dan ia bertanggung jawab terhadap kepemimpinannya. Seorang istri adalah pemimpin di rumah suaminya dan ia bertanggung jawab terhadap kepemimpinannya. Pembantu adalah pemimpin harta milik tuannya dan bertanggung jawab terhadap kepemimpinannya.” (HR. Bukhari).

Syarat masuk surga lainnya ialah berupa memelihara kehormatan dan menjaga perut. Orang yang menjaga kehormatan dirinya secara baik akan mendapat kedudukan yang mulia dalam masyarakat. Realitasnya memperlihatkan, betapa banyak orang yang hancur kehidupan dan masa depannya akibat dari tidak mampu menjaga kehormatannya. Singkatnya, kehormatan merupakan harga diri yang mulia. Dalam Islam sendiri, perilaku memelihara kehormatan diri ini digolongkan wajib hukumnya.

Kata kehormatan (baca: al-farj) di dalam hadis tersebut, sebenarnya memiliki arti lebih khusus sebagai alat kelamin (seks). Artinya, orang haruslah memelihara alat kelamin agar tidak digunakan pada yang haram. Dampaknya, apabila seks bebas berkembang di masyarakat akan timbul kegoncangan di dalam kehidupannya.

Sedangkan kata perut sendiri, lebih merupakan simbol dari sesuatu yang masuk ke dalam perut (baca: makanan). Sehingga makanan harus menjadi perhatian yang serius. Tepatnya, setiap muslim harus hati-hati terhadap segala sesuatu yang dikonsumsi tubuhnya. Apakah halal atau haram, sebab ketidak halalan tersebut akan berakibat buruk bagi jiwanya.

Dalam konteks ini, Rasulullah pernah mengatakan, “Setiap daging yang tumbuh dari yang haram maka nerakalah tempatnya.” Di sini, kata neraka itu tidak hanya berarti neraka di akhirat, tapi juga “neraka dunia” (kegoncangan jiwa, kekerasan, kehancuran, dll). Lebih jauh, menurut Muslim Nasution, makanan yang haram akan membuat jiwa selalu tak pernah puas, malas beramal saleh, tak mau beribadah, tak patuh pada aturan, tumpul rasa jiwanya, dll.

Langkah terakhir untuk masuk surga menurut hadis di atas adalah berupa menjaga/mengawasi lidah. Sebab, lidah merupakan simbol dari kata atau ucapan manusia. Arti lainnya, kata-kata atau ucapan yang dikeluarkan haruslah dijaga jangan sampai menggoncangkan, menggelisahkan masyarakat, tidak mengucapkan yang batil dan tidak benar. Nabi Saw. bersabda, “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, hendaklah ia mengatakan yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Akhirnya, dengan melaksanakan keenam langkah atau perilaku tersebut, semoga seperti kata Nabi Saw. pastikan kita masuk surga! Amin. Wallahu’alam.***

Penulis Pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia.

gravatar

Penyakit, Musibah dan Perahu Kesabaran

Oleh ARDA DINATA

Dan sesungguhnya akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira bagi orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: Inna lillaahi wa inna Ilaihi raji’un (sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali. (QS. Al-Baqarah: 155-156)


BERBAGAI penyakit terkait dengan kondisi kesehatan lingkungan yang rendah, dewasa ini masih mendera masyarakat Indonesia, seperti malaria, demam berdarah dengue (DBD), kusta, filariasis, infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), dan lainnya. Kondisi rendahnya kualitas kesehatan lingkungan itu, tidak saja mendatangkan jatuhnya banyak korban karena serangan penyakit tersebut, tapi bahkan telah mendatangkan (musibah) bencana alam (seperti longsor, banjir, pencemaran lingkungan, dll).

Adanya fenomena alam seperti itu, kita selaku umat beragama tentu harus merenungi, sikapi dan maknai secara benar. Ada hikmah apa dibalik segala “musibah” dan kejadian tersebut. sehingga dengan pola pikir seperti ini, kita dapat berbuat lebih baik lagi dan menyikapi alam semesta ini dengan benar lagi bijaksana.

Berbicara musibah, dalam khazanah keilmuan Islam disebutkan kalau musibah itu sebenarnya ada dua macam. Pertama, musibah yang di luar pilihan manusia. Contohnya adanya penyakit yang menimpa seseorang atau terjadinya kefakiran. Sedangkan terkait posisi manusia dalam menghadapi musibah macam ini, Dr. Akrim Ridha membaginya menjadi empat macam. (1) Ada manusia yang lemah sehingga ia tampak gundah dan sedih, serta ia suka mengaduh dan sedih, serta ia suka mengaduh bahkan merasa tidak suka atau benci; (2) ada yang sabar; (3) yang lebih tinggi dari bersabar adalah ridha atau menerima; (4) bahkan ada juga yang syukur, dan ini merupakan makom (kedudukan) yang paling tinggi.

Kategori musibah kedua, adalah musibah yang mengenai seseorang karena perlakuan orang lain. Contohnya perbuatan zalim, merampas harta, atau mencela. Sementara itu, terkait kedudukan manusia ketika menghadapi musibah kategori ini, dalam bahasa Akrim Ridha, selain kedudukan seperti kategori sebelumnya, juga ditambah dengan kedudukan berikut: (1) memaafkan; (2) kalbunya bersih dari keinginan balas dendam; (3) berbuat baik kepada orang yang berbuat jahat kepadanya; (4) berusaha untuk menghadapi pelbagai aspek yang menjadi sebab timbulnya musibah dan menghilangkannya, di samping berusaha maksimal untuk bangkit dari keterpurukan dan kegagalan. Terkait dengan hal itu, pantas saja para psikolog berkata: ”Keluh kesah (gundah) itu karib dan saudaranya sikap lemah (loyo), sedangkan sabar itu saudara kandung dan sahabat terdekatnya kecerdasan dan akal.”

* *

SESUNGGUHNYA kalau kita mau jujur, kedudukan “berusaha” dalam menghadapi segala kejadian dalam hidup manusia (terjadi penyakit, musibah, dll.) merupakan sikap yang harus tertanam dalam tindakan hidup seorang muslim. Sebab, makom “berusaha” inilah yang menghimpun semua makom atau posisi-posisi sebelumnya serta berlaku dan berguna untuk semuanya, bahkan semua posisi itu ditentukan oleh adanya usaha.

Pada tataran berusaha inilah, manusia harus dibekali dengan “perahu kesabaran”. Kata sabar itu sendiri berasal dari bahasa Arab shabara. Huruf yang membentuknya, yaitu shad, ba’, dan ra’. Adapun makna asalnya berarti berusaha menahan diri dan melatihnya. Dalam hal ini, Ibn Al Qayyim menyatakan: “Dalam kata sabar itu dikandung tiga makna, yaitu menahan, tegar, dan menggabungkan.”

Dengan demikian, sabar bagi manusia bukan berarti pasrah. Sabar adalah kegigihan kita untuk tetap berpegang teguh kepada ketetapan Allah. Kata lainnya, kesabaran itu merupakan proses aktif, gabungan antara ridha dan ikhtiar. Jadi, kesabaran bukan proses diam dan pasif, melainkan proses aktif baik akal, tubuh dan iman dalam hati manusia. Justru, dari musibah yang disikapi dengan sabarlah akan lahir rahmat dan tuntunan dari Allah.

Lebih jauh lagi diungkapkan dalam kamus bahasa Arab, makna kesabaran itu ada tiga. (1) Sabar adalah al man’u wa al habsu, mencegah dan menahan. Yakni mencegah jiwa supaya tidak gundah, dan menahan lidah supaya tidak suka mengadu. (2) Sabar berarti tegar dan kuat. Shubru, di mana kata shad­-nya didammahkan, berarti tanah yang sangat tegar dan subur. Obat yang dikenal sangat pahit disebut shabir, sedangkan pohonnya adalah shabar. Seorang penyair pernah mengatakan: “Sabar itu seperti namanya, pahit rasanya tetapi akibatnya lebih manis dari madu.”

(3) Ash-shabr, juga berarti al jam’u wa al dhamm. Artinya menghimpun dan menggabungkan. Arti lainnya, orang yang bersabar adalah orang yang mampu untuk menghimpun potensi dirinya, sehingga tidak gampang sedih dan keluh kesah.

Secara demikian, betapa pentingnya kesabaran dalam hidup manusia. Adapun langkah strategis yang akan membantu kesabaran itu, kata Ibn Al Qayyim, tiang penyangganya adalah ilmu dan amal. Ilmu adalah pengenal terhadap segala akibat dari berbagai hal bila dilakukan dan menimbang kelebihannya bila ditinggalkan. Sedangkan amal adalah keinginan kuat atau ambisi yang benar dan semangat yang tinggi.

Terkait dengan kesabaran tersebut, almarhum Prof. KH. Anwar Musaddad, pernah menulis bahwa wilayah sabar itu ada empat, yaitu (1) dalam taat –lakukanlah--; (2) dalam maksiat –jauhilah--; (3) menghadapi musibah –tahanlah dirimu dan terimalah itu sebagai ujian dari Allah--; dan (4) sabar dalam berjihad.

Akhirnya, harus kita tanamkan bahwa “perahu kesabaran” itu bukanlah suatu kehinaan dan bukan pula ridha dengan kezaliman. Justru, sesungguhnya kesabaran itu merupakan suatu potensi yang memberikan dorongan kuat untuk mengembalikan kebenaran dan melakukan usaha untuk mendapatkan kemuliaan dan derajat yang tinggi. Mudah-mudahan kita semua dikaruniai nikmatnya bersabar. Amin. Wallahu a’lam.***

Penulis Pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia.

gravatar

Sikap Manusia Dalam Mementaskan Hidup

Oleh ARDA DINATA

Biarkan hari-hari bertingkah semaunya. Buatlah diri ini rela ketika ketentuan-Nya bicara. Dan jangan gelisah dengan kisah malam. Tidak ada kisah dunia ini yang abadi. (Imam Syafi’i).

UNGKAPAN imam syafi’i tersebut, paling tidak merupakan obat penghilang kegelisahan hari-hari yang kita jalani. Memang, dunia ini bukan milik kita. Dunia ini milik Allah semata-mata. Dia yang berkehendak lagi punya ketetapan. Sehingga siapa pun orangnya tidak berhak “bertanya” mengapa Allah memutuskan ini dan itu terhadap kita. Namun, yang jelas justru kitalah yang kelak akan ditanya.

Untuk itu, dalam mementaskan hidup, kita hanya berusaha untuk menyambungkan ikhtiar demi ikhtiar. Membentangkan rangkaian usaha maksimal kita. Di sini, perlu digaris bawahi bahwa pada ujung usaha dan puncak ikhtiar itu tidak lantas mesti langsung berhubungan dengan keberhasilan yang diusahakan.

Artinya, apa pun kehendak Allah bagi seorang mukmin selalu baik. Apa pun wujud kehendak itu, baik yang menyenangkan (tentu baik untuk kita). Tapi, tidak sebatas itu, kehendak-Nya yang terlihat tidak menguntungkan pun ternyata ada kebaikan yang Allah “paksakan” bagi diri kita. Sebab, bukankah hanya Dia yang mengetahui sesuatu yang terbaik buat kita?

Pokoknya, hidup adalah pilihan. Keberadaan nilai hidup itu sendiri sesungguhnya yang mengantarkan pilihan menjadi tidak sesederhana yang kita bayangkan. Permasalahannya ada pada bagaimana kita memandang dan menilai hidup itu. Bila hidup itu dipandang sebagai fase satu-satunya yang sementara bagi manusia sebelum memasuki dunia akhirat, maka otomatis pilihan apapun dalam hidup ini menjadi penting dan menentukan.

Untuk itu, agar kita tidak salah memilih dalam mementaskan hidup, berikut ini ada tujuh langkah yang dapat kita lakukan. Pertama, pelihara lintasan pikiran untuk tetap mengarah pada kebaikan. Lintasan pikiran adalah tangga pertama yang akan mengantarkan seseorang pada niat dan sikap. Dalam tahap ini semua orang akan mengalaminya (lintasan pikiran baik maupun yang buruk). Jika hanya sebatas lintasan berbuat buruk, itu wajar dan manusiawi. Allah SWT juga tidak mencatat hal itu sebagai suatu dosa. Namun bila kurang waspada, lintasan hati itu kerap berkembang menuju tahapan dialog batin (baca: dialog antara keinginan melakukan kebaikan atau keburukan). Terjadilah benturan antara bisikan setan untuk melakukan keburukan dengan bisikan malaikat dan akal sehat untuk tidak melakukan keburukan. Bila dalam benturan ini, nafsu keburukan dan bisikan setan yang menang, maka muncullah niat.

Kedua, pertimbangan suatu pilihan dengan ilmu. Menentukan suatu pilihan pasti dengan timbangan informasi dan pengetahuan yang kita miliki. Informasi yang keliru atau minimnya pengetahuan akan membawa kita pada pilihan yang salah. Setidaknya, kita harus mengetahui kategori kesalahan yang termasuk dosa besar dan dosa kecil.

Ibnu Quddamah dalam Minhajul Qashidin mengutip uraian tentang dosa besar yang disebutkan oleh Abu Thalib Al Makky. Katanya, “Dosa-dosa besar itu ada tujuh belas. Saya menghimpunnya dari sejumlah atsar. Empat macam ada di dalam hati, yaitu: syirik, terus-menerus melakukan kedurhakaan, putus asa dari rahmat Allah dan merasa aman dari tipu daya Allah. Empat macam ada di lidah, yaitu: kesaksian palsu, menuduh wanita yang baik-baik, minum khamar, makan harta anak yatim dengan zalim dan memakan riba. Dua macam ada di kemaluan yaitu zina dan seks dengan sejenis. Dua macam ada di tangan yaitu membunuh dan mencuri. Satu macam ada di kaki yaitu melarikan diri saat pertempuran. Satu macam ada di seluruh badan yaitu durhaka pada orangtua.”

Ketiga, berdoa memohon petunjuk Allah. Permohonan petunjuk Allah saat kita memilih, adalah bukti dan cermin suasana iman yang sangat mempercayainya, membutuhkan, dan mengakui keagungan dan kuasa Allah dalam segala hal. Manusia sering keliru menentukan pilihan yang menurutnya baik. Ternyata di kemudian hari pilihan itu justru menjadi awal bencana baginya. Kita kadang menilai negatif, antipati, menolak sesuatu berdasarkan logika, pikiran yang terbatas. Tapi, ternyata hal itu justru mendatangkan manfaat yang sangat luar biasa untuk Allah. Allah berfirman, “Bisa jadi engkau membenci sesuatu padahal sesuatu yang engkau benci itu baik bagimu. Bisa jadi engkau menyukai sesuatu padahal sesuatu yang engkau sukai itu tidak baik bagimu.”

Keempat, tumbuh dan pelihara perasaan takut pada Allah SWT. Rasa aman akan azab dari Allah juga dapat menyebabkan seseorang lalai dengan dosa, memudah-mudahkan kesalahan dan menunda-nunda pekerjaan baik, hingga akhirnya tenggelam dalam kemaksiatan. Allah SWT berfirman, “Maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan seksaan Kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang tidur? Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di waktu matahari sepenggalahan naik ketika mereka sedang bermain? Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiadalah yang merasa aman dari azab Allah kecuali orang-orang yang merugi.” (QS. Al-A’raf: 97-99).

Kelima, sadari bahwa hidup ini hanya sementara. Pilihan dalam hidup sangat dipengaruhi bagaimana kita memandang hidup. Panjang angan-angan, menumpuk mimpi, terlalu berobsesi pada kehidupan dunia, akan membawa orang lupa bahwa hidup ini sementara. Kondisi inilah yang akan menjadikan orang tidak mampu memandang secara benar dalam memilih.

Keenam, tanamkan kekhawatiran su’ul khatimah. Takut dan khawatir itu bermacam-macam. Ada orang yang dalam hatinya dominan rasa takut terhadap kematian sebelum bertaubat. Ada orang yang merasa lebih takut condong pada kenikmatan dan beralih dari sikap istiqomah. Ada yang takut terhadap akhir hidup yang buruk. Yang paling tinggi adalah yang terakhir. Di antara orang yang takut adalah orang yang takut sakratul maut dan kepedihannya atau pertanyaan malaikat mungkar dan nakir. Takut meniti shirat, takut neraka dan kobarannya, takut tidak bisa masuk surga.

Ketujuh, renungi pilihan-pilihan yang lalu. Bukan untuk sekedar merenung, menyesal dan kemudian melemparkan kesalahan pada nasib. Bukan juga untuk mengatakan, kenapa tidak begini, kenapa begitu. Perenungan yang kemudian membuka celah kata-kata jika begini, seandainya begitu, sama dengan membuka celah setan untuk menyesali hidup, merasa sangat bersalah dan bersikap putus asa. Sikap seperti itu tidak ada gunanya dan dilarang. Rasulullah dalam sebuah hadis mengingatkan bahwa perkataan “jika dan seandainya” itu adalah pintu bagi setan untuk mengganggu manusia.

Akhirnya, semoga langkah-langkah penting tersebut dapat dilakukan dengan benar sehingga kita dapat mengarungi hidup yang penuh kegelapan ini. Dan pastikanlah usaha maupun sikap kita selaku manusia dalam mementaskan hidup ini diberi kesempatan untuk menjadi yang lebih baik oleh Allah SWT. Amin. Wallahu a’lam.***

Penulis Pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia.

gravatar

Menumbuhkan Kepercayaan Diri Anda

Oleh Arda Dinata

Kesuksesan hidup seseorang, kadangkala menjadi terhalang disebabkan karena ia tidak mempercayai kemampuan yang dimilikinya. Padahal, kalau kita dapat berpikir bijaksana, tentu akan timbul kesadaran bahwa semua manusia itu pada dasarnya dilahirkan sama. Yakni memiliki kelebihan dan kekurangan.

Di sini, yang membedakan mereka adalah pola pikir dan sikap positif terhadap suatu keadaan yang menghadapinya. Berikut ini beberapa cara untuk menumbuhkan kepercayaan diri yang bisa dijadikan sebagai pegangan, yaitu:

Pertama, hancurkan segala perasaan minder pada diri Anda.

Kedua, atasi dan cegah setiap bentuk kelemahan Anda dengan semangat jiwa besar, maupun dengan kelebihan yang Anda miliki.

Ketiga, selalu mengingat dan merasa bangga dengan sikap positif yang telah Anda miliki.

Keempat, bertindaklah dengan antusias dan optimis, karena hal ini akan menjadikan hidup Anda menjadi semangat dan bergairah.

Kelima, peliharalah selalu penampilan fisik yang prima dan mental positif pada diri Anda.

Keenam, tetaplah tersenyum walaupun mengalami masa-masa sulit.

Ketujuh, yakinlah, Anda adalah individu yang unik dan berharga untuk diri Anda.

Kedelapan, ingatlah bahwa Anda memiliki kekuatan dan potensi yang tidak terbatas untuk mencapai tujuan yang Anda impikan. (Arda Dinata).***

Penulis Pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia.

gravatar

Berselancar di Dunia Hati

Oleh ARDA DINATA

ADAKAH yang lebih jujur dari kata hati, ketika ia menyadarkan kita tanpa butiran kata-kata. Adakah yang lebih tajam dari mata hati, saat ia menghentak kita dari beragam kesalahan dan kehilafan. Sungguh kondisi yang paling indah dari seluruh putaran kehidupan ini, tidak lain saat di mana kita mampu secara jujur dan tulus mendengar suara hati. Sehingga pantas Imam Turmudzi mengatakan, “Hidupnya hati karena iman dan kematiannya karena kekufuran. Sehatnya hati karena ketaatan dan sakitnya hati karena terus-menerus mengerjakan kemaksiatan. Kesadarannya hati karena dzikir dan tidurnya hati karena kelengahan.”

Hati sendiri pada dasarnya merupakan tunas dari kedamaian. Dr. Ahmad Faried, menggambarkan bahwa hubungan hati dengan organ-organ tubuh lainnya, laksana raja yang bertahta di atas singgasana yang dikelilingi para punggawanya. Seluruh anggota punggawa bergerak atas perintahnya. Dengan kata lain, bahwa hati itu adalah sebagai remote control sekaligus pemegang komando terdepan (utama). Karena semua anggota tubuh berada dibawah komando dan dominasinya. Di hati inilah anggota badan lainnya mengambil keteladanannya, dalam ketaatan atau penyimpangan.

Jadi, betapa pentingnya kedudukan hati ini dalam kehidupan manusia. Namun, pertanyaannya adalah apakah kita selama ini telah “berselancar” untuk betul-betul memahami dan memaknai keberadaan dunia hati ini?

Hati fisik dan hati ruhani
Bila kita “berselancar” di dunia hati, maka kita akan bersentuhan dengan sesuatu yang berada di setiap sisi-sisi hati manusia tersebut, mulai dari arti hati secara fisik sampai dengan bagian-bagian hati itu bila dilihat secara ruhani, termasuk di dalamnya adalah segala organ tubuh yang sering berhubungan dengan hati itu sendiri.

Berbicara hati (qalb, kalbu), tentu kita akan melihatnya dari dua sudut kaca mata yang berbeda, yaitu hati fisik dan hati ruhani. Secara fisik, hati ini bagi kebanyakan orang merupakan sepotong organ dalam tubuh manusia yang terletak di bagian kiri dada dan sebagai sumber (pusat) roh. Dalam satu keterangan disebutkan, kalau sepotong organ ‘daging’ itu berbentuk buah sanaubar (berarti buah cemara atau sejenis dengan itu, mirip dengan jantung manusia. Kata ini bila diindonesiakan menjadi ‘sanubari’ untuk menunjukkan perasaan hati yang mendalam. Sebetulnya, terjemahan yang lebih tepat bagi kata qalb ini dalam bahasa Indonesia adalah ‘jantung’). Dan secara teknis ilmu anatomi, hati ini diartikan sebagai suatu bagian isi perut yang merah kehitam-hitaman warnanya, terletak di sebelah kanan perut besar, gunanya untuk mengambil sari-sari makanan di dalam darah dan menghasilkan empedu.

Kalau dilihat secara ruhani, hati (qalb, kalbu) adalah hal-hal yang bersifat ruhani, rabbani non-inderawi yang tersimpan dalam nurani manusia. Demikianlah yang dikatakan dalam Alquran, yaitu tempat bersemayam iman, takwa, ihsan, dzikir, cinta, tentram dan lainnya. Selain itu, hati ini merupakan tempat bersemayam kekufuran, nifak, riya, dengki, iri, benci, cemas, dan lainnya.

Dalam bahasa lain, hati ini disebut sebagai sesuatu yang ada di dalam tubuh manusia yang dianggap sebagai tempat (pusat) segala perasaan batin dan tempat menyimpan pengertian-pengertian (perasaan-perasaan, dsb). Arti lainnya, hati merupakan pusat pemahaman/internalisasi. Pusat Intutional Intelectual (II). Pusat memori dari semua amal (baik-buruk). Indera perasaan (rasa halus), untuk pencerapan hal yang abstrak. Indera hati (mata dan telinga hati), untuk pencerapan alam gaib.

Terkait dengan hati ini, menurut Al-Ghazali, hati (qalb, kalbu) ini dapat dimaknai sebagai sebuah lathifah (sesuatu yang amat halus dan lembut, tidak kasat mata, tak berupa dan tak dapat diraba), yang bersifat Rabbani ruhani (sesuatu yang berkaitan dengan sifat ilahiah dan roh/ruh), meski ada juga kaitannya dengan ‘organ hati’. Lathifah tersebut sesungguhnya adalah jati diri manusia atau hakikatnya. Dia adalah bagian (komponen) utama manusia yang berpotensi mencerap (memiliki daya tanggap atau persepsi), yang mengetahui dan mengenal, yang ditunjukan kepadanya segala pembicaraan dan penilaian, dan yang dicekam dan dimintai pertanggungjawaban.

Bagian-bagian hati ruhani
Hati (qalb, kalbu) termasuk organ gaib yang merupakan ‘alat’ yang dipergunakan oleh jiwa manusia. Kita tahu struktur jiwa ini terdiri dari: Aku (nafs)---analog dengan simbol S. Freuid, das Ich (Ego)---, dan Diri (anfus)---analog dengan simbol S. Freuid, das Es (Id)---. Dan kalau kita lihat lebih jauh, ternyata Aku unsurnya “nafsu” (nafs) energinya “cahaya”, sifatnya “salah”, fungsinya sebagai inti kesatuan dan tulang punggung eksistensi manusia. Aku mempunyai kebebasan untuk memilih apakah “salah” atau “benar”, hal inilah yang membedakan manusia dari binatang dan makhluk Tuhan lainnya yaitu malaikat “benar” terus, setan “salah” terus.

Sifat nafsu adalah “salah”, kalau yang dipilih/dilaksanakan “nafsu sendiri (fitrah)”, disebut “niat dalam”, akan dibela oleh Diri oleh karena “nafsu” yang disayangi oleh Tuhannya dan akan selamat, kalau karena pengaruh setan disebut “niat luar”, pasti celaka apa pun alasannya.

Sementara itu, keberadaan Diri ini unsurnya “napsu(anfus)”, dzatnya “cahaya” (“Tenaga Dalam”), sifatnya “benar” oleh karena hakikatnya Malaikat yang ditanam-Nya sejak konsepsi. Fungsinya: menjaga, membela Aku, agar selamat, mengatur dan memperkuat kehidupan (fungsi vegetatif), agar Aku survive.

Berdasarkan hal itu, jadi dapat dikatakan bahwa kalbu ini terdiri dari organ/alat gaib dari Diri/Aku; pusat pemahaman/internalisasi; pusat intutional intelectual (II); pusat memori dari semua amal (baik-jelek); organ/alat dari setan untuk melakukan interferensi terhadap Aku; sebagai indera perasaan (rasa halus) untuk pencerapan hal yang abstrak; dan indera hati (mata dan telinga hati), untuk pencerapan alam gaib. Dalam bahasa lain, dr. Ukas Cukasah, SpA, berdasarkan hasil penelitiannya tentang hakekat manusia Indonesia seutuhnya, mengungkapkan bahwa, kalbu merupakan pusat penghayatan indera perasaan, pusat akal dengan indera mata dan telinga hati, dan pusat memori pengalaman tidak-enak yang direpresi oleh Aku, yang pada gilirannya akan menimbulkan stres psikologis. Sedangkan pengalaman enak akan disimpan di memori otak. Jadi, pada hakekatnya roh, rasa, Aku, Diri, adalah gaib dan kalbu adalah organ gaib.

Terkait dengan kalbu sebagai organ gaib, tentu ia memiliki hubungan yang tidak terpisahkan dengan keberadaan unsur roh, nafs, dan akal yang sama-sama berada dalam tubuh manusia. Berikut ini hubungan diantara unsur tersebut di dalam tubuh manusia.

1. Hubungan kalbu dengan roh.
Roh/ruh adalah sesuatu yang abstrak (tidak kasat mata), yang bersemayam dalam rongga “hati biologis”, dan ‘mengalir’ melalui urat-urat dan pembuluh-pembuluh, ke seluruh anggota tubuh. Adapun mengalirnya dalam tubuh dengan membawa limpahan cahaya-cahaya kehidupan, perasaan, penglihatan, pendegaran dan penciuman ke dalam semua anggota badan. Adalah ibarat melimpahnya cahaya dari pelita yang dikelilinginya ke seluruh penjuru rumah.

Keberadaan roh ini, terdiri dari roh hewani, roh nabati, dan roh suci. Pertama, roh hewani, keberadaannya telah ada sejak konsepsi manusia. Sifatnya “hidup”, unsurnya “cahaya”, dan fungsinya memberikan “kehidupan” tingkat sel dari organ sadar (motorik), sebagai alat Aku untuk pemenuhan kebutuhan jasmani, sehingga Aku puas, senang, dll. Utusannya adalah rasa kasar, terdiri dari rasa kasar dalam (propioseptif) yang menyertai panca indera sehingga Aku dapat komunikasi/pencerapan dengan alam nyata-ada, melalui metoda kuantitatif.

Kedua, roh nabati. Telah ada sejak konsepsi manusia. Sifatnya “hidup”, unsurnya “cahaya”, dan fungsinya memberi “kehidupan” tingkat sel dari organ dalaman untuk fungsi vegetatif yang diatur oleh Diri untuk kepentingan Aku, sehingga Aku survive.

Utusan roh nabati adalah rasa halus terdiri dari rasa viseral dan rasa dalam yang menyertai indera perasaan sehingga Aku dapat melakukan pemahaman/pencerapan hal-hal yang abstrak (yang bereksistensi di dunia nyata) melalui metoda naturalistik.

Ketiga, roh suci. Keberadaannya ada dihembuskan kurang lebih umur 12 minggu dalam kandungan. Sifatnya “hidup”, unsurnya “cahaya”, fungsinya menjadikan Aku “yang hidup” dan memberikan “kehidupan” tingkat organ, yang ditandai oleh mulai berfungsinya (berdenyut) jasad yang terletak di atrium kiri jantung memancarkan sinyal sehingga jantung mulai memompa darah mengangkut oksigen dan nutrien untuk kebutuhan organ-organ.

Roh suci ini mempunyai utusan rasa jati yang menyertai indera hati sehingga Aku dapat merasakan/melakukan komunikasi dan pencerapan alam gaib dengan metoda intuisi. Dan kalau terminal roh suci, jasad berdenyut terus, maka utusannya, rasa jati dengan terminalnya di pusat liver (hepar) akan “nyala” terus sepanjang hayat.

2. Hubungan kalbu dengan Nafs.
Kata nafs mengandung beberapa makna (jiwa, sukma, diri, nafsu, dan sebagainya). Pertama, yang dalam bahasa Indonesia sama dengan kata ‘nafsu’ yaitu mencakup fakultas emosi atau amarah (ghadhab) dan ambisi atau (syahwah) dalam diri manusia. Makna seperti inilah yang sering kali digunakan dikalangan para ahli tasawuf, karena mereka mengartikan kata nafs (nafsu) sebagai sesuatu yang mencakup sifat-sifat tercela pada diri manusia. Itulah sebabnya mereka menegaskan tentang keharusan melawan nafsu ataupun mengekangnya. Makna demikian, seperti diisyaratkan dalam sabda Nabi Saw., “Musuhmu yang terbesar adalah nafsumu yang berada dalam dirimu.” (HR. Al-Baihaqiy dari riwayat Ibnu Abbas).

Kedua, kata nafs adalah serupa maknanya dengan salah satu makna ‘hati’, yaitu sesuatu yang abstrak dan membentuk diri manusia secara hakiki. Walau demikian, nafs ini dilukiskan dengan berbagai macam sifat sesuai dengan berbagai keadaannya yang berbeda-beda. Jika ia dalam keadaan selalu tenang dan tentram (dalam menerima ketentuan-Nya) dan terhindar dari kegelisahan yang disebabkan oleh pelbagai macam godaan ambisi, maka ia disebut nafs muthmainnah (jiwa yang tenang dan tentram). Seperti dalam firman Allah SWT, ”Wahai nafs muthmainnah, kembalilah kepada Tuhanmu, dalam keadaan ridha dan diridhai sepenuhnya.” (QS. Al-Fajr: 27).

Sedangkan apabila ia gelisah karena berada dalam kondisi perlawanan terhadap godaan syahwat hawa nafsu, maka ia disebut nafs lawwamah (atau jiwa yang senantiasa mengecam). Karena ia selalu menyesali dirinya sendiri atas kelalaiannya dalam melakukan pengabdian kepada Tuhannya. “….dan Aku (Allah) bersumpah dengan nafs lawwamah (jiwa yang selalu mengecam) ….” (QS. Al-Qiyamah: 2).

Selanjutnya, jika nafs ini tidak berusaha menyesali dirinya, bahkan senantiasa tunduk patuh kepada dorongan hawa nafsu dan memperturuti bisikan setan, maka ia disebut nafs ammarah bis-su (nafsu yang menyuruh kepada kejahatan). Seperti dalam firman Allah SWT, menirukan ucapan Yusup as. ataupun isteri Al-Aziz, raja Mesir, “….dan aku tidak hendak membebaskan diriku (dari kesalahan) karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan.” (QS. Yusuf: 53).

3. Hubungan kalbu dengan ‘Aql (Akal).
Kata akal ini memiliki beberapa makna. Pertama, akal berarti pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu yang bertempat di hati. Kedua, akal berarti bagian (dari manusia) yang memiliki kemampuan untuk mencerap pengetahuan. Hal ini sama dengan hati dalam arti lathifah.

Arti lainnya, bahwa setiap diri orang itu ada ‘sesuatu’ (wadah) yang menampung pengetahuan. Selanjutnya, pengetahuan adalah sifat yang menetap dalam ‘wadah’ tersebut. Jadi, pengetahuan tidak indentik dengan ‘wadah’ yang menampungnya. Sehingga, adakalanya kata akal digunakan untuk menyebutkan tentang sifat yang melekat pada diri orang yang berpengetahuan, dan adakalanya juga untuk menyebutkan tentang wadah pengetahuan dalam diri orang itu. Dan inilah barangkalai yang dimaksud dalam sabda Nabi Saw., “Yang pertama kali diciptakan Allah adalah akal.” (HR. At-Thabrani).

Klasifikasi hati manusia
Akhirnya, melalui kegiatan berselancar singkat di dunia hati seperti di atas, maka kita sudah dapat menarik suatu kesimpulan bahwa sesungguhnya hati manusia itu memiliki komponen sifat hidup dan mati. Dalam tataran ini, hati manusia dapat diklasifikasikan menjadi tiga. Pertama, Qalbun Shahih (hati yang suci). Yaitu hati yang sehat dan bersih dari setiap nafsu yang menentang perintah dan larangan Allah, dan dari setiap penyimpangan yang menyalahi keutamaan-Nya.

Kedua, Qalbun Mayyit (hati yang mati). Yaitu hati yang tidak pernah mengenal Ilahnya; tidak menyembah-Nya, tidak mencintai atau ridha kepada-Nya. Akan tetapi, ia berdiri berdampingan dengan syahwatnya dan memperturutkan keinginannya, walaupun hal ini menjadikan Allah marah dan murka dibuatnya.

Ketiga, Qalbun Maridl. Yaitu hati yang sebenarnya memiliki kehidupan, namun di dalamnya tersimpan benih-benih penyakit. Tepatnya, kondisi hati ini kadang-kadang ia “berpenyakit” dan kadang pula hidup secara normal, bergantung ketahanan (kekebalan) hatinya. Wallahu a’lam. ***

Penulis Pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia.

Selamat Menikmati Tulisan-Tulisan Yang Penuh Inspirasi, Ilmu, Motivasi dan Amal Yang Bikin Hidup Anda Sukses Secara Islami di Blog Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam [MIQRA] INDONESIA. Blog Ini Didirikan oleh ARDA DINATA, Seorang Penulis Merdeka. Salam SUKSES....dari MIQRA Indonesia!!!


| ILMU MENJADI KAYA |

AMBIL Sebelum KEHABISAN....!!!
ADA Ebook GRATIS di Bawah Ini:
1. Miliki HARTA KARUN Bagi PENULIS

2. Cara SUKSES Nampang dI INTERNET

3. Cara SUKSES Kirim 100-an Email Sekali klik

4. Cara GAMPANG NERBITIN BUKU OK

5. Asiknya Bikin TULISAN Chicken Soup for the Soul dan Kiat Membuat TULISAN YANG MENARIK





Assalamu'alaikum wr wb
Selamat datang di MIQRA INDONESIA GROUP. Sumber Inspirasi, Motivasi, Ilmu dan Amal untuk ke-SUKSES-an hidup Anda di dunia akhirat.
Ayo Gabung Dengan Komunitas Pembaca MIQRA INDONESIA GROUP
Dapatkan Hadiah Ebook:
”ILMU MENJADI KAYA”

Setelah Anda bergabung dengan Mailing List MIQRA INDONESIA GROUP.